/Laris di Luar Negeri, Seret di Negeri Sendiri

Laris di Luar Negeri, Seret di Negeri Sendiri

BY, KOMPAS
MEBEL luar ruang atau outdoor furniture bukan termasuk barang yang populer untuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Walaupun pasar untuk mebel luar ruang di dalam negeri memang ada, bisa dikatakan kecil sekali volumenya dibandingkan dengan permintaan mebel luar ruang untuk ekspor.

BS Tjahjono, produsen dan pengekspor mebel dari PT Subadiya Prima, berpendapat, pemakai mebel luar ruang di Indonesia terbatas pada mereka yang mempunyai rumah dengan halaman cukup besar atau orang-orang kaya yang umumnya memiliki rumah dengan kolam renang di dalamnya. “Selain pemilik rumah mempunyai halaman besar, mebel luar ruang itu biasanya laris untuk hotel, kolam renang, atau tempat-tempat umum seperti sport club,” ujarnya.

Padahal, di Eropa dan Amerika Serikat (AS), mebel luar ruang bisa dikatakan sudah menjadi bagian dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Mereka yang terbiasa tinggal di apartemen biasanya mempunyai area publik bagi para penghuninya. Di area publik itulah mebel luar ruang diletakkan.

Kota-kota di Eropa, AS, dan Australia biasanya juga sangat memerhatikan taman-taman untuk kepentingan warganya. Di taman-taman itu pun umumnya dengan mudah bisa ditemukan mebel-mebel luar ruang. Jenis mebel ini juga digunakan di ruang-ruang terbuka dalam areal kampus atau sekolah, dengan berbagai bentuknya sesuai dengan fungsinya.

Dedi Wirawan, Manajer Umum PT Kurnia Jati Utama Indonesia, terus terang mengatakan bahwa 90 persen dari mebel produknya untuk pasar luar negeri, hanya sekitar 10 persen saja yang dipasarkan di dalam negeri. Itu pun lebih sering karena memenuhi pesanan proyek untuk apartemen atau hotel.

“Pasar dalam negeri tidak kami dalami karena tidak jalan. Kalau produksi kami dijual di dalam negeri, terlalu mahal. Satu kursi taman bisa sekitar Rp 1 juta, sementara barang yang sama produksi Jepara mungkin hanya Rp 200.000 per buah. Perbedaan harga ini karena proses pembuatannya juga berbeda. Contohnya, untuk mengeringkan kayu, kami menggunakan mesin, sedangkan di Jepara secara alami,” kata Dedi.

Oleh karena itulah umumnya produsen mebel luar ruang mengarahkan produknya untuk ekspor. Mike Thomasius, Asisten Desain Prestige Furniture, Yogyakarta, misalnya, sampai paham betul bagaimana beda selera orang Eropa dengan AS dalam hal mebel luar ruang.

Orang Eropa umumnya menyukai bentuk yang sederhana, sedangkan orang AS memilih produk yang berukuran besar. “Eropa lebih modern dalam desain. Kalau AS cenderung tertinggal sekitar lima tahun di belakang Eropa. Misalnya, suatu produk sudah tidak disukai di Eropa, maka di AS produk itu baru mulai digemari,” kata Mike yang mengekspor 100 persen produknya ke berbagai negara.

HAL yang sama juga dilakukan PT Aneka Unitop Bekasi. Sejak tahun 2003 perusahaan ini mengekspor semua produk mebel luar ruangnya ke AS, Eropa, dan Australia. Berbagai jenis mebel luar ruang diekspor perusahaan ini, mulai dari bangku panjang (bench) dengan atau tanpa sandaran tangan, kursi dengan atau tanpa sandaran tangan, kursi goyang, kursi pantai dengan atau tanpa sandaran kaki dari kayu atau dikombinasikan dengan kain kanvas, sampai kursi panjang untuk berjemur di tepi kolam atau pantai.

Selain berbagai jenis kursi, menurut Manajer Pemasaran PT Aneka Unitop Bekasi Asep Suryatna, perusahaannya juga membuat meja piknik atau meja lipat, baik yang berbentuk persegi panjang, segi empat, bulat, maupun octagonal. Perusahaan ini pun memproduksi rumah kayu untuk tempat bermain anak-anak, kereta dorong (serving cart) dua tingkat dengan dua roda di bagian depan, sampai tempat untuk menyimpan pot tanaman.

“Orang asing biasanya suka furniture kayu yang warnanya dibiarkan alami hanya diampelas sehingga warna kayunya terlihat natural coklat pudar. Ada juga yang minta diberi teak oil untuk menghasilkan warna coklat yang lebih tua. Mereka biasanya juga minta bahan mebelnya yang tidak terasa lengket di kulit, selain harus tahan segala cuaca karena ditaruh di luar ruangan,” tambah Andi Paliwangi, Presiden Direktur PT Aneka Unitop Bekasi.

BS Tjahjono menambahkan, kalau di AS maupun negara-negara Eropa mebel luar ruang sering diletakkan di taman-taman publik, maka di Indonesia kemungkinan itu kecil sekali. “Ya kita harus mengerti, kalau taman-taman di Jakarta, misalnya, tidak menggunakan mebel luar ruang, lha siapa yang bisa menjamin kalau mebel-mebel untuk kepentingan publik itu tidak dirusak atau bahkan hilang dicuri?” ujarnya.

SEMENTARA itu, pasar dalam negeri tetap terbatas pada pemilik rumah berhalaman luas, hotel, maupun klub olahraga yang menyediakan fasilitas kolam renang. Meski pembeli dalam negeri amat terbatas jumlahnya, menurut BS Tjahjono, hal ini juga tidak berarti terjadi penurunan pada volume yang bisa diserap pasar.

Walaupun penjualan mebel luar ruang untuk konsumsi dalam negeri juga tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan, ada beberapa pembeli yang tertarik pada mebel luar ruang justru untuk diletakkan di dalam ruangan. Mereka yang membeli mebel luar ruang untuk di dalam ruangan itu ada yang sebab tak mengerti perbedaannya, ada pula yang tergiur dengan modelnya tetapi tidak punya cukup areal terbuka di rumahnya.

Oleh karena itu, tak heran kalau kita dapati di dalam restoran atau rumah biasa menggunakan mebel luar ruang berwarna mengilat karena dipelitur. Padahal, biasanya mebel luar ruang itu berukuran cukup besar sehingga justru membuat ruang di dalam rumah terasa sempit.

“Kita memang tidak mengenal mebel luar ruang, mungkin karena bukan negara empat musim. Tetapi sebenarnya mebel luar ruang pun bisa dipakai di sini, misalnya untuk teras atau beranda,” kata BS Tjahjono menambahkan.

Harga mebel luar ruang pun tak bisa dikatakan murah dibandingkan dengan mebel untuk di dalam rumah. Hal ini tak terhindarkan karena bahan baku utamanya hingga kini masih menggunakan kayu. Harga satu mebel luar ruang amat bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah sampai Rp 2 jutaan, bergantung pada bahan, model, dan pengerjaannya. (J09/ELN/IKA/CP)